BISNIS BANDUNG-Petaka bencana banjir di Bandung dan sekitarnya akhir akhir ini hingga membawa korban jiwa, akibat lemahnya penegakkan hukum atas peraturan daerah yang mengatur peruntukkan penataan wilayah Kawasan Bandung Utara (Perda KBU).
Menurut Wakil Ketua Pansus VII (Pansus RTRW) DPRD Jawa Barat Drs. H. Dady Rohanadi dalam percakapan dengan wartawan, Selasa (13/2), peristiwa tersebut sangat berkaitan dengan mandulnya law enforcement, sedangkan banjir cileuncang cuma salah satu aspek, begitupun banjir di tempat lainnya.
“Bagaimana kita mau menegakkan besaran koefisien bangunan di KBU. Perda sudah jelas menyebutkan 750 m dpl (di atas permukaan laut) koefisienya 80:20, 80 % RTH (ruang Terbuka Hijau): 20 % bangunan, koefisien bangunannya cuma ditoleransi 20%,” tutur Dady.
Di atas seribu permukaan laut seharusnya sudah tidak ada bangunan lagi. Itu paling ideal kalau mau terwujud konservasi yang sebenarnya. Tapi pada kenyataannya, masih banyak bangunan termasuk yang dilakukan pemerintah di KBU.
“Itu menyedihkan, seharusnya memberikan contoh. Ini yang menurut saya harus dikoreksi, dan kalau mau law enforcement. Sudahilah, perhari tidak ada lagi bangunan baru,” tegasnya.
Ia menandaskan seharusnya begitu perda ditandatangani, semestinya stop tidak ada lagi bangunan. Hentikan perijinan baru, yang sudah biasanya berkaitan dengan investor yang selalu harus dipertimbangkan .
“Itu idealnya, jika Perda KBU mau berjalan efektif, “ tegas Dady.
Ia juga mengamati lahan sayur di Bandung Selatan yang ada di bawah situ Cisanti. Di sana sebelah kanannya mengkhawatirkan, kalau hujan intensitasnya tinggi, maka lahan sayur itu seperti bukit gundul.
Pemutihan
Terkait dengan Pansus VII yang tengah membahas penyusunan rancangan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Jawa Barat, H. Daddy Rohanady menyatakan Perda RTRW yang tengah disusun jangan sampai jadi aspek legal pemutihan tata ruang wilayah kabupaten/kota yang bermasalah.
Hal ini terkait dengan peruntukkan lahan kabupaten kota yang tengah dievaluasi Bappeda, sesuai dengan prosentase peruntukkannya di kabupaten kota yang ternyata tidak sesuai foto di lapangan.
“Karena itu saya sampaikan, Perda RTRW ini jangan sampai dijadikan aspek legal pemutihan, sebab jika itu dilakukan bahaya sekali buat kita, ” ungkap Dady seraya menambahkan jika RTH di kabupaten/kota dipatok 30 persen atau 40 persen tidak bisa ketemu, jadi jangan sampai Rerda RTRW ini jadi pemutihan.
“Sebut saja suatu lahan yang seharusnya RTH dengan presentase yang ditentukan di masing masing kabupaten/kota tetapi ternyata setelah diinventarisasi yang awalnya RTH sekarang sudah jadi perumahan, sudah menjadi bangunan itu kan gak boleh,” tegasnya.
Kalau perdanya disepakati seperti itu, berarti jadi pemutihan dan melegalkannya. Itu yang gak boleh terjadi, dan kalau mau seperti itu harus ada lokasi pengganti yang jelas.
Kabupaten Kuningan dan Garut merupakan contoh dengan RTH terbesar di Jawa Barat. Mereka mempertahankan RTH di Garut 81 persen, sekarang ditekan setelah RTRW ini menjadi 51 persen. Itu artinya mau mengeksploitasi. Begitu pula Kuningan 41,6 persen. Dan Provinsi Jabar sendiri sesungguhnya hanya 38 persenan.(B-002)***